Kamis, 12 Juni 2008

Pengantar Pengenalan PPN


PPN ADALAH :

Pajak atas Konsumsi yang berarti tax point (dikenakan/dipungut), pada saat konsumen mengeluarkan uangnya untuk belanja konsumsi. Pajak atas konsumsi atau pajak tidak langsung adalah istilah yang sama perbedaannya pajak tidak langsung lebih dilihat dari sisi administratif pengenaannya atau beban finansial/ekonomi yang dapat dilimpahkan kepada orang lain. Sedangkan pajak atas konsumsi dilihat dari sisi ilmu ekonomi khususnya dari arus produksi dan arus biaya / belanja. Namun tidak semua pajak tidak langsung adalah pajak atas konsumsi contohnya: Bea Meterai.

Sejarah Pajak Atas Konsumsi:

PPb I ( UU No.14/1947, UU No.20/1948, UU No.27/1957)

Pajak ini mulai berlaku 1 Juni 1947, semula adalah pajak pusat, kemudian dengan UU No.32/1956 jo PP No.3/1997 menjadi Pajak Daerah, dan dengan UU No.18/97 menjadi Pajak Hotel dan Restoran. PPb I adalah tergolong pajak tidak langsung yang sukses dalam pemungutannya dikarenakan subyek yang dipungut adalah golongan orang-orang mampu. Dengan demikian disimpulkan bahwa PPb I bersifat General/advalorem terbatas, dengan single/flat/Uniform rate dan single stage levy pada tingkat retail).

Pajak Peredaran 1950 (UU Darurat No.18 tanggal 13 Pebruari 1950)

Pajak ini mulai berlaku 1 Januari 1951 dan berakhir pada tanggal 1 Oktober 1951. Jenis pajak atas konsumsi ini memiliki umur terpendek dalam sejarah pajak atas konsumsi di Indonesia dan termasuk gagal dalam pelaksanaannya dikarenakan Ppe 1950 adalah Inrem Advalorem Tax dengan multiple stage levy yang cummulative meliputi semua mata rantai lajur perusahaan impor dan jasa-jasa, meskipun tarip yang dikenakan 2,5% tetapi karena dikenakan sejak dari Industri hulu sampai dengan hilir (retailer) sebelum ke tangan konsumen maka beban pajak kumulatif yang harus dibayar oleh konsumen semakin besar sesuai dengan mata rantai yang harus dilalui barang/jas yang dingin diperoleh konsumen.

Pajak Penjualan 1951 ( UU Darurat No.19/51)

Pajak ini mulai berlaku 1 Oktober 1951, umurnya kurang lebih 35 tahun. Jenis ini termasuk dalam gologang Inrem advalorem tax, single stage pada tingkatan pabrikan dengan tarip awal tunggal yaitu 5%. Cascading effect tetap timbul meskipun pengenaannya sekalipada tingkat pabrikan. Hal itu bisa terjadi manakala pabrikan yang saling berhadapan dan saling membutuhkan produk dari pabrikan lain. Mengantisipasi hal tersebut kemudian diciptakan pasal-pasal yang mengatur tax credit mechanism (Pasal 31), Pembebasan dan pengecualian (Pasal 29&30). Kesulitan dalam hal pengawasan dengan adanya tax credit mechanism akhirnya pemerintah mencabut pasal 31 ditambah dengan bongkar pasang fasilitas pembebasan dan pengecualian, menjadi pajak ini cummulative. Dan untuk menghindari dampak ganda tersebut, maka tarip tunggal diganti, akibatnya timbul kesulitan dalam penerapannya terutama dalam mengitepretasikan suatu jenis barang masuk dalam kategori tarip yang mana, akhirnya PPn (Pajak Penjualan) menjadi pajak yang rumit.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Tipe yang dianut:

Tipe dalam PPN sebenarnya ada 3 yaitu Product type, Income type dan consumption type. PPN Indonesia menganut tipe konsumsi, hal ini dapat dilihat dalam mekanisme pengkreditan pajak Masukan, dalam consumption type, semua Pajak Masukan dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan formal dan material, material dalam hal ini berhubungan dengan kegiatan usaha. Sehingga kesimpulannya dengan tipe atau cara tersebut pajak hanya membebani pengeluaran/belanja untuk personal consumption saja. Sedangkan tipe lainnya antara lain:
Product type: Tidak memberikan pengembalian untuk belanja Barang modal. Contohnya: PPn 1951 tercermin dalam Pasal 31, yang hanya memberikan pengembalian pajak atas bahan mentah, bahan pembantu dan bahan baku termasuk pembukus. Dan untuk income type : Pajak Masukan barang modal tidak dapat sekaligus dibebankan sebagai kredit pajak akan tetapi sebesar proporsional sejumlah penyusutan tahunan dari barang modal.

Azas/Principle

PPN menganut destination principle (azas tujuan), artinya pajak dikenakan ditempat barang itu dituju atau dikonsumsi, termasuk barang yang diimpor, sedangkan barang yang diekspor tidak dikenakan. Penerapan azas tujuan ini menimbulkan konsekuensi harus disertainya dengan azas penyesuaian tapal batas (bordertax adjusment) yaitu pengenaan tarip 0% sebagai penyesuaian/menetralkan pengenaan PPN.
Azas lainnya adalah azas asal usul barang contoh: Pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan atas komoditi tertentu termasuk CPO akan tetapi jenis pajak ini sebenarnya tidak termasuk dalam kerangka PPN.

Cakupan/Scope

Periode 1 April 1985; cakupan obyeknya adalah Barang hasil pabrikasi dan cakupan subyeknya adalah pabrikan, penyalur utama, importir, pemegang patent, pemborong bangunan dan sub pemborong (Jasa konstruksi)

Periode 1 April 1989; cakupan obyek yang diubah berkaitan dengan JKP. Sedangkan cakupan subyek sampai kepada pedagang besar / penyalur (wholesaler)

Periode April 1992; cakupan subyek sampai dengan pedagang eceran skala besar yaitu omzet 1 milliar.

Pengkreditan Pajak Masukan:

Metoda yang digunakan adalah metoda faktur

Tarip Pajak

Single rate, salah satu alasan adalah menghindari komplikasi seperti yang terjadi dalam tarip majemuknya PPn 1951.

1 komentar:

betty mengatakan...

Berarti kalo menganut asas destinasi bila ada penyerahan jasa ke luar negri tidak ada PPN (tidak terutang PPN) krn tarifnya 0%, menurut saya UUN PPN 2000 hanya membahas atas konsumsi didalam negri tp kenapa banyak fiskus yang mempermasalahkan dengan alasan penyerahan BKP atau JKP dilakukan dalam daerah pabean. Padahal menurutku kita kembalikan semua pada asas destinasi