Rabu, 18 Juni 2008

PPN Jasa Maklon




Terutang / tdk terutang PPN Jasa Maklon ????

SEJARAH OBJEK PPN :

Mulai Berlaku Dasar Hukum Keterangan

01/04/1985 : Ps. 4 UU No.8/1983 : Importir
01/04/1985 : Ps. 4 UU No.8/1983 : Pabrikan
01/04/1985 : PP No.22/1985 : Jasa Pemborong
15/01/1989 : PP No.28/1988 : Jasa Telekomunikasi
01/04/1989 : PP No.28/1988 : Pedagang Besar
01/04/1989 : PP No.28/1988 : Seluruh Jasa Kecuali 12 Kelompok Jasa
01/04/1992 : PP 75/1991 : Pedagang Eceran Besar
01/01/1995 : UU No.11/1994 : Seluruh Pedagang Eceran
01/01/1995 : UU No.11/1994 : Membangun Sendiri
01/01/1995 : UU No.11/1994 : Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan

KETENTUAN PERIODE TAHUN 1984 S/D 1994 :

· Penjelasan Pasal 1 huruf d angka 1 point c UU No.8/1983 tentang PPN dan PPn BM menyebutkan bahwa Pengalihan Barang dalam keadaan bergerak yaitu perpindahan Barang karena suatu pesanan atau permintaan untuk menghasilkan Barang dengan bahan dan atas petunjuk dari si pemesan;

· Pasal 2 angka 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan No.302/KMK.04/1989 tanggal 1 April 1989 tentang PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA KENA PAJAK SELAIN JASA YANG DILAKUKAN OLEH PEMBORONG, JASA ANGKUTAN UDARA DALAM NEGERI DAN JASA TELEKOMUNIKASI menyebutkan bahwa tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean Republik Indonesia, adalah penyerahan Jasa yang melekat pada atau untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar daerah pabean Republik Indonesia;

· SE-25/PJ.3/1989 tanggal 20 Mei 1989 pada angka 6 (Sebagai petunjuk pelaksanaan KMK-302/KMK.04/1989) menyebutkan contoh-contoh sebagai berikut :
Jasa yang dilakukan oleh pengusaha jasa yang berkedudukan di dalam negeri tidak terutang PPN di Indonesia sepanjang jasa yang dilakukan tersebut ;
1. Melekat pada atau untuk barang tidak bergerak yang berada di luar Daerah Pabean R.I. seperti jasa persewaan bangunan, jasa pembangunan gedung yang berada di luar negeri.
2. Melekat pada atau untuk barang bergerak yang berada dan dimanfaatkan di luar Daerah Pabean R.I. seperti jasa persewaan alat-alat berat yang berada di luar negeri.
3. Merupakan barang tidak berwujud berupa hak-hak seperti hak cipta, hak patent, merek dagang dsb. yang dimanfaatkan di luar negeri.
4. Merupakan jasa lainnya selain yang tersebut pada angka 6.1. s.d. 6.3. yang secara phisik dilakukan di luar Daerah Pabean R.I. seperti jasa konsultan, jasa akuntansi, jasa pengacara dsb. yang dilakukan di luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d.

Dan kemudian dibatasi juga dengan kalimat sebagai berikut : bahwa ketentuan tersebut supaya ditafsirkan sebagai berikut :
1. Jika jasa tersebut secara phisik dilakukan di luar negeri, tetapi dimanfaatkan di Indonesia, maka terkena PPN.
2. Jika jasa tersebut secara phisik dilakukan di luar negeri, tetapi dimanfaatkan juga di luar negeri, tidak terkena PPN.


KETENTUAN PERIODE TAHUN 1994 S/D Sekarang

· Penjelasan Pasal 1 huruf d UU No.11/1983 tentang PPN dan PPn BM tidak lagi menyebutkan bahwa Pengalihan Barang dalam keadaan bergerak yaitu perpindahan Barang karena suatu pesanan atau permintaan untuk menghasilkan Barang dengan bahan dan atas petunjuk dari si pemesan adalah penyerahan barang kena pajak.

· Penjelasan Pasal 4 huruf c UU PPN disebutkan bahwa Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
2. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean,
3. Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan.

Kesimpulan:
1. Jasa Maklon sejak 01 April 1989 adalah Jasa Kena Pajak (Ds.Hukum PP No.28 tahun 1988)
2. Keputusan Menteri Keuangan No.302/KMK.04/1989 tanggal 1 April 1989 dan SE-25/PJ.3/1989 tanggal 20 Mei 1989, esensinya adalah mengatur masalah apakah terutang dan tidak terutang dan ;
3. Baik UU PPN 1983, Keputusan Menteri Keuangan No.302/KMK.04/1989 tanggal 1 April 1989 dan SE-25/PJ.3/1989 tanggal 20 Mei 1989, selaras menyatakan, bahwa jika penyerahan phisik dilakukan di Indonesia, maka terutang PPN;
4. Akan tetapi karena UU PPN 1983 memasukan jasa maklon dalam pengertian penyerahan barang kena pajak, maka atas penyerahan jasa maklon tersebut terkena tarip 0%;
5. Karena masalah jasa maklon bukan masalah terutang atau tidak, akan tetapi masalah tarip.
6. Dan sejak UU PPN No.11/1994 mulai berlaku yaitu sejak 1 Januari 1995, yang menyatakan bahwa penyerahan jasa maklon bukan penyerahan barang kena pajak akan tetapi merupakan penyerahan jasa kena pajak maka jasa maklon terutang PPN dengan tarip 10%.

Kamis, 12 Juni 2008

Seri PBB 1


OBJEK PAJAK PBB

Yang menjadi obyek PBB adalah bumi dan bangunan.

Bumi adalah permukaan bumi atau tanah dan isi yang ada di bawahnya, termasuk tanah pekarangan, sawah, empang dan perairan pedalaman.

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi, tanah atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha maupun tempat yang diusahakan

Termasuk dalam pengertian bangunan :
1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut;
2. Jalan tol;
3. Kolam renang;
4. Pagar mewah;
5. Tempat olah raga;
6. Galangan kapal, dermaga;
7. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
8. Fasilitas lain yang memberikan manfaat

Dikecualikan dari pengenaan PBB:
1. Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan nasional, yang dimaksudkan untuk tidak memperoleh keuntungan. Contoh objek yang dikecualikan atau tidak dikenai PBB itu seperti : pesantren atau sejenisnya, sekolahan/madrasah, tanah wakaf, rumah sakit pemerintah dan lain-lain .
2. Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu seperti museum.
3. Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
4. Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani sesuatu hak.
5. Bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

pengantar laba rugi selisih kurs




LABA-RUGI SELISIH KURS

Dasar Hukum :

Pasal 4 ayat (1) huruf l dan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh :
Keuntungan maupun kerugian selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut Wajib Pajak yang harus dilakukan secara taat azas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis), pengakuan keuntungan/kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pengakuan keuntungan/kerugian selisih kurs dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.

SE DirJen Pajak No. SE-03/PJ.31/1997 tanggal 13 Agustus 1997 :
Kerugian selisih kurs, mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan:
1) Kurs tetap, pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata uang asing tersebut.
2) Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Kerugian yang terjadi karena selisih kurs, dapat diakui sebagai pengurang penghasilan sepanjang Wajib Pajak tersebut mempunyai sistem pembukuan yang diselenggarakan secara taat asas, sesuai dengan bukti dan keadaan yang sebenarnya, dan dalam rangka kegiatan usahanya atau berkaitan dengan usahanya.

Faktur Pajak I


PENGENALAN FAKTUR PAJAK

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, maka Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan. Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebaga Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak;

Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran;

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat :
· Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
· Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
· Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
· Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
· Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
· Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
· Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun secara materiil. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun untuk pengisian keterangan mengenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Dilarang :
· Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak;
· Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya;
· Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan tersebut harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara;

Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :
· pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau
· pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
· pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap penyerahan; atau
· pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Pengantar Pengenalan PPN


PPN ADALAH :

Pajak atas Konsumsi yang berarti tax point (dikenakan/dipungut), pada saat konsumen mengeluarkan uangnya untuk belanja konsumsi. Pajak atas konsumsi atau pajak tidak langsung adalah istilah yang sama perbedaannya pajak tidak langsung lebih dilihat dari sisi administratif pengenaannya atau beban finansial/ekonomi yang dapat dilimpahkan kepada orang lain. Sedangkan pajak atas konsumsi dilihat dari sisi ilmu ekonomi khususnya dari arus produksi dan arus biaya / belanja. Namun tidak semua pajak tidak langsung adalah pajak atas konsumsi contohnya: Bea Meterai.

Sejarah Pajak Atas Konsumsi:

PPb I ( UU No.14/1947, UU No.20/1948, UU No.27/1957)

Pajak ini mulai berlaku 1 Juni 1947, semula adalah pajak pusat, kemudian dengan UU No.32/1956 jo PP No.3/1997 menjadi Pajak Daerah, dan dengan UU No.18/97 menjadi Pajak Hotel dan Restoran. PPb I adalah tergolong pajak tidak langsung yang sukses dalam pemungutannya dikarenakan subyek yang dipungut adalah golongan orang-orang mampu. Dengan demikian disimpulkan bahwa PPb I bersifat General/advalorem terbatas, dengan single/flat/Uniform rate dan single stage levy pada tingkat retail).

Pajak Peredaran 1950 (UU Darurat No.18 tanggal 13 Pebruari 1950)

Pajak ini mulai berlaku 1 Januari 1951 dan berakhir pada tanggal 1 Oktober 1951. Jenis pajak atas konsumsi ini memiliki umur terpendek dalam sejarah pajak atas konsumsi di Indonesia dan termasuk gagal dalam pelaksanaannya dikarenakan Ppe 1950 adalah Inrem Advalorem Tax dengan multiple stage levy yang cummulative meliputi semua mata rantai lajur perusahaan impor dan jasa-jasa, meskipun tarip yang dikenakan 2,5% tetapi karena dikenakan sejak dari Industri hulu sampai dengan hilir (retailer) sebelum ke tangan konsumen maka beban pajak kumulatif yang harus dibayar oleh konsumen semakin besar sesuai dengan mata rantai yang harus dilalui barang/jas yang dingin diperoleh konsumen.

Pajak Penjualan 1951 ( UU Darurat No.19/51)

Pajak ini mulai berlaku 1 Oktober 1951, umurnya kurang lebih 35 tahun. Jenis ini termasuk dalam gologang Inrem advalorem tax, single stage pada tingkatan pabrikan dengan tarip awal tunggal yaitu 5%. Cascading effect tetap timbul meskipun pengenaannya sekalipada tingkat pabrikan. Hal itu bisa terjadi manakala pabrikan yang saling berhadapan dan saling membutuhkan produk dari pabrikan lain. Mengantisipasi hal tersebut kemudian diciptakan pasal-pasal yang mengatur tax credit mechanism (Pasal 31), Pembebasan dan pengecualian (Pasal 29&30). Kesulitan dalam hal pengawasan dengan adanya tax credit mechanism akhirnya pemerintah mencabut pasal 31 ditambah dengan bongkar pasang fasilitas pembebasan dan pengecualian, menjadi pajak ini cummulative. Dan untuk menghindari dampak ganda tersebut, maka tarip tunggal diganti, akibatnya timbul kesulitan dalam penerapannya terutama dalam mengitepretasikan suatu jenis barang masuk dalam kategori tarip yang mana, akhirnya PPn (Pajak Penjualan) menjadi pajak yang rumit.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Tipe yang dianut:

Tipe dalam PPN sebenarnya ada 3 yaitu Product type, Income type dan consumption type. PPN Indonesia menganut tipe konsumsi, hal ini dapat dilihat dalam mekanisme pengkreditan pajak Masukan, dalam consumption type, semua Pajak Masukan dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan formal dan material, material dalam hal ini berhubungan dengan kegiatan usaha. Sehingga kesimpulannya dengan tipe atau cara tersebut pajak hanya membebani pengeluaran/belanja untuk personal consumption saja. Sedangkan tipe lainnya antara lain:
Product type: Tidak memberikan pengembalian untuk belanja Barang modal. Contohnya: PPn 1951 tercermin dalam Pasal 31, yang hanya memberikan pengembalian pajak atas bahan mentah, bahan pembantu dan bahan baku termasuk pembukus. Dan untuk income type : Pajak Masukan barang modal tidak dapat sekaligus dibebankan sebagai kredit pajak akan tetapi sebesar proporsional sejumlah penyusutan tahunan dari barang modal.

Azas/Principle

PPN menganut destination principle (azas tujuan), artinya pajak dikenakan ditempat barang itu dituju atau dikonsumsi, termasuk barang yang diimpor, sedangkan barang yang diekspor tidak dikenakan. Penerapan azas tujuan ini menimbulkan konsekuensi harus disertainya dengan azas penyesuaian tapal batas (bordertax adjusment) yaitu pengenaan tarip 0% sebagai penyesuaian/menetralkan pengenaan PPN.
Azas lainnya adalah azas asal usul barang contoh: Pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan atas komoditi tertentu termasuk CPO akan tetapi jenis pajak ini sebenarnya tidak termasuk dalam kerangka PPN.

Cakupan/Scope

Periode 1 April 1985; cakupan obyeknya adalah Barang hasil pabrikasi dan cakupan subyeknya adalah pabrikan, penyalur utama, importir, pemegang patent, pemborong bangunan dan sub pemborong (Jasa konstruksi)

Periode 1 April 1989; cakupan obyek yang diubah berkaitan dengan JKP. Sedangkan cakupan subyek sampai kepada pedagang besar / penyalur (wholesaler)

Periode April 1992; cakupan subyek sampai dengan pedagang eceran skala besar yaitu omzet 1 milliar.

Pengkreditan Pajak Masukan:

Metoda yang digunakan adalah metoda faktur

Tarip Pajak

Single rate, salah satu alasan adalah menghindari komplikasi seperti yang terjadi dalam tarip majemuknya PPn 1951.

PKP Jabatan

Dasar Penetapan PKP Jabatan :
o Pasal 1 angka 15 UU PPN: Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP ( artinya: PKP timbul karena UU bukan penetapan)
o Pasal 4 huruf a UU PPN: PPN dikenakan atas penyerahan BKP yang dilakukan dalam daerah pabean oleh pengusaha. (artinya dapat dibaca: Pengusaha yang menyerahkan BKP di dalam daerah pabean dikenakan PPN)

Kesimpulan:
· Pengusaha yang dimaksud adalah baik yang telah dikukuhkan ataupun belum dikukuhkan
· Jika diperiksa kemudian ternyata Wajib Pajak belum PKP padahal seharusnya PKP, maka Wajib Pajak dapat ditagih dengan SKP/STP, yang artinya bahwa penerbitan SKP/STP merupakan perwujudan sanksi atau kelalaian PKP melaksanakan kewajiban Pasal 14 ayat (1) UU PPN

Nota retur


NOTA RETUR

Dasar Hukum:
1. Sebelum 1 Januari 1995 : KMK No.987/KMK.04/1984, 18 September 1984
2. Setelah 1 Januari 1995: Pasal 5 A UU PPN, KMK No.596/KMK.04/1994, SE-12/PJ.54/1995

Nota retur dibuat:
1. Jika ada BKP yang dikembalikan
2. Mencantumkan sekurang-kurangnya:
a. Nomor urut
b. Nomor dan tanggal faktur pajak
c. Nama dan alamat, NPWP, tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan faktur pajak
d. Nama, alamat, NPWP Pembeli
e. Macam, Jenis, Kuantum, harga jual BKP yang dikembalikan
f. PPN dan PPnBM atas BKP yang dikembalikan
g. Tanggal pembuatan nota retur
h. Tanda tangan pembeli

Nota retur berfungsi:
Mengurangi PM bagi pembeli dan PK bagi penjual pada bulan diterima nota retur. (Kesimpulan: Pemanfaat nota retur tidak dibatasi oleh Waktu)

Implikasi:
o Jika retur disebabkan penggantian BKP dengan spesifikasi yang sama persis, maka nota retur tidak perlu dibuat.
o Harga yang tercantum dalam nota retur harus sama dengan yang tertera dalam faktur pajak.
o Faktur pajak sederhana tidak bisa dibuat retur, karena terganjal syarat formal nota retur.
o Uang muka yang sudah dipungut, kemudian transaksi batal, langkah yang ditempuh oleh PKP adalah melaporkan sebagai Pajak Masukan, sedangkan jika Non PKP sesuai Pasal 7 ayat (3),(4) dan (5) PP 143/2000 menyatakan secara implisit bahwa pengajuan restitusi tidak harus PKP, bahkan tidak harus NPWP.
o Jika terjadi penurunan harga, tidak dibuatkan nota retur akan tetapi melalui prosedur penggantian faktur pajak.